Webinar Dinamika Kejahatan Lintas Batas Negara di Asia Tenggara

Picture: INADIS

Jakarta, 16 Juni 2022 – Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS), bekerja sama dengan Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur (UNU Kaltim) dan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, mengadakan webinar berjudul ‘Dinamika Kejahatan Lintas Batas Negara di Asia Tenggara’. Webinar yang dilaksanakan melalui Zoom ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Farhan Julianto (INADIS), Sari Mulyani (UNU Kaltim), dan Angel Damayanti (UKI). Acara ini berlangsung selama dua jam dari pukul 13.00-15.00 WIB/14.00-16.00 WITA dan dihadiri oleh 62 orang peserta.

Webinar dibuka dengan kata sambutan dari Suzie Sudarman, expert INADIS, dan dilanjutkan dengan presentasi dari Julianto yang berjudul ‘Ancaman Kelompok Paramiliter di Laut Cina Selatan (LCS)’. Dalam presentasinya, Julianto membahas mengenai pasukan paramiliter Tiongkok yang mencari ikan sejauh-jauhnya dengan mengklaim traditional fishing ground atau wilayah memancing tradisional. Walaupun bukan merupakan bagian dari militer Tiongkok, kelompok ini diberitakan mendapatkan arahan dari Angkatan Laut (AL) Tiongkok. Karena kelompok paramiliter ini merupakan kelompok di luar struktur resmi militer dan juga merupakan aktor non-negara, maka negara Tiongkok tidak dapat dituntut menggunakan hukum internasional. Negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga tidak dapat merespons secara militer ataupun unilateral karena hanya akan memperburuk keadaan. Dari sini terlihat bahwa Tiongkok mengendalikan narasi atas apa yang terjadi di LCS. Situasi ini diperburuk oleh ketidaksepakatan di antara negara-negara ASEAN sendiri dalam menghadapi masalah di LSC. Oleh karena itu, Julianto menyarankan agar negara-negara ASEAN bersatu dan segera menyelesaikan Code of Conduct mengenai LCS serta memasukkan masalah LCS ke dalam ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime dan meningkatkan kehadiran mereka di LCS.

Presentasi kedua dibawakan oleh Sari Mulyani dan berjudul ‘Kerja Sama Trilateral Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam Keamanan Laut (Kasus Perompakan Kapal Batu Bara Indonesia)’. Mulyani mengangkat kasus perompakan kapal batu bara dengan anak buah kapal (ABK) Indonesia di Laut Sulu—wilayah perairan yang dianggap tidak aman di Asia Tenggara—pada tahun 2016. Sektor energi memang merupakan pemasukan besar untuk Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara, dengan Laut Sulu menjadi jalur kapal batu bara menuju Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Peristiwa perompakan di tahun 2016 tersebut mendorong terjadinya kerja sama antara Indonesia, Filipina, dan Malaysia untuk memastikan kawasan jalur perdagangan, terutama perdagangan batu bara, laut aman. Walaupun demikian, negara-negara ASEAN tetap menghadapi tantangan berupa peningkatan tindak kejahatan lintas batas negara di daerah perairannya. Oleh karena itu, negara-negara ASEAN harus meningkatkan komitmennya dalam menjaga keamanan lautnya.

Terakhir, Angel Damayanti membawakan presentasi yang berjudul ‘Islamofobia: Ancaman terhadap Keamanan Insani di Asia Tenggara’. Dalam presentasinya, Damayanti menyorot bagaimana Islamofobia mengancam stabilitas kawasan ASEAN. Contohnya, gerakan separatisme di Pattani memicu ketegangan di antara Thailand dan Malaysia, sementara isu Rohingya memicu ketegangan Myanmar dengan negara-negara ASEAN lainnya sekaligus mendorong gerakan solidaritas umat Islam yang berujung pada aksi terorisme di kawasan ASEAN. Untuk mengatasi masalah tersebut, Damayanti mendorong terjadinya dialog khusus antara negara-negara ASEAN dengan negara mitranya termasuk India dan Korea Selatan yang mengalami krisis kemanusiaan terkait Islamofobia. Ia juga menyarankan penguatan kelembagaan, khususnya Komisi HAM ASEAN.

Setelah ketiga pembicara membawakan presentasinya, peserta diberikan kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi. Sesi tanya jawab dan diskusi ini berlangsung selama 30 menit dan ditutup dengan penyerahan sertifikat secara virtual kepada ketiga pembicara serta foto bersama.